SIHIR DAN BEKAM

By M. Nadhif Khalyani

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang menceritakan saat Nabi terkena sihir.

Rasululloh pernah terkena sihir, sehingga seolah-olah beliau mendatangi isteri-istrinya, padahal pada hakikatnya beliau tidak mendatangi mereka. ( HR. Bukhari 10/199).

Al-Qadhi bin Iyyadh menjelaskan, “Sihir adalah salah satu jenis penyakit, bisa saja mengenai Nabi seperti halnya penyakit-penyakit lain, sama sekali tidak mencemari nubuwah beliau.

Ada hal yang menarik dari penjelasan Ibnul Qayyim tentang riwayat ini.

Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibekam untuk mengatasi problem ini.

Abu ubaid menyebutkan dalam kitab Gharibul Hadits dengan sanad
yang hasan dari Abdurrahman bin Abi Laila, “Nabi pernah melakukan
bekam pada bagian kepala dengan menggunakan tanduk, ketika beliau
terserang sihir.

Pertanyaannya mengapa dibekam?

Ibnul Qayyim menjelaskan, bekam ini dilakukan karena unsur sihir yang menyerang Nabi bersarang di
kepala, sehingga terjadilah pada beliau, merasa seolah-olah melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya.

Ibnul Qayyim melanjutkan bahwa unsur sihir ini telah mempengaruhi perut bagian depan.

Penggunaan bekam sebagai sarana terapi karena bekam adalah sarana terapi sangat efektif, itu sebabnya beliau melakukannya.

Namun, ketika beliau menerima wahyu dari Allah dan diberitahukan bahwa beliau telah terkena sihir, beliau beralih pada pengobatan yang sebenarnya, yaitu mengeluarkan sihir dan menangkalnya.

Demikianlah penjelasan kronologi proses terapi yang dijalani oleh Nabi.

Ada beberapa poin mendasar dalam bahasan diatas, yakni

1. Kita perlu mendalami efek problem organ terhadap penyakit yang sedang dirasakan. Karena efek dari sihir dalam hadits diatas berpengaruh kepada psiksi, sehingga beliau perlu mendapat terapi bekam.

2. Nabi bergeser dari terapi bekam menuju ruqyah setelah mendapatkan wahyu. Ini menunjukkan bahwa setiap penyakit perlu diselesaikan sesuai porsinya. Semakin komprehensif dalam memahami kasus maka semakin maksimal hasilnya.

3. Saat Nabi dibekam, berdasarkan penjelasan Ibnul Qayyim maksudnya adalah sakit yang beliau alami tersebut “didekati” dengan pendekatan dhahir pada mulanya. Lalu setelah “final” diagnosanya, terapi beralih ke terapi yang hakiki untuk kasus sihir, yakni membaca Al Qur’an. Tidak dipungkiri bahwa Bekam bisa bermanfaat dalam kasus sihir, namun bersifat sebagai terapi pelengkap, sedangkan yang utama dalam kasus ini adalah ruqyah.

Pertanyaannya, kapan perlu menggunakan bekam, dan kapan perlu ruqyah, kapan perlu keduanya dilakukan?

4. Persoalan lainnya adalah bagaimana memastikan sakit yang dialami pasien adalah murni sihir? Dan Sejauhmana perlu mendetailkan tema sihir ini dalam terapi?

Dengan penjelasan ibnul qayyim diatas setidaknya kita mengerti bahwa tema sihir bisa “didekati” dengan berbagai sudut pandang.

Hal yang terberat sebenarnya adalah sejauhmana kemampuan kita memandang sakit yang sedang terjadi itu.

Merujuk kepada penjelasan Ibnul Qayyim diatas pula, kita dapat ambil ibrah, jika sakit diterapi dengan cara yang benar, secara teori, penyakit tersebut akan hilang, biidznillah.

Jika berlarut-larut sakitnya, tidak kunjung ada progress membaik, maka secara teori, mungkin perlu evaluasi ulang cara terapinya atau diagnosanya. Atau ada faktor lain yang terabaikan.

Ini cara berpikir alami dalam bab pengobatan, termasuk dalam bab sihir.

Wallohua’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *